Selasa, 26 Februari 2013

Sejarah dan perkembangan Ilmu Hadits



BAB I
PENDAHULUAN

A.               LATAR BELAKANG
Segala ucapan, perbuatan, ketetapan bahkan apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah SAW menjadi uswah bagi para sahabat dan umat islam yang kita kenal sebagai hadits. Pada masa Rasulullah masih hidup, hadits belum mendapat perhatian dan sepenuhnya seperti Al-Qur'an. Para sahabat khususnya yang mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur'an, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabalikan ayat-ayat al-Qur'an di atas alat-alat yang mungkin dipergunakannya.
Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, walaupun para sahabat memerlukan petunjuk-petunjuk dan keterangan dari Nabi Saw dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam AI¬Qur'an. Mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama hadits belum diabadikan dalam tulisan. Baru setelah beberapa dekade usai wafatnya Nabi Saw muncul inisiatif-inisiatif untuk menulis hadits. Penulisan hadits ini pun dilaksanakan secara bertahap seiring dengan makin banyaknya sahabat yang wafat, penulisan hadits makin dilakukan guna menghindari adanya kerancuan pendapat bagi generasi umat islam setelahnya dalam memecahkan permasalahan.

B.               RUMUSAN MASALAH
1.      Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
2.      Kodifikasi Ilmu Hadits



BAB II
PEMBAHASAN

A.               Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
Hadits Pada Periode Rasulullah SAW
Hadis pada Masa Nabi SAW belum dibukukan, kebanyakan hadis hanyalah dihafal oleh para sahabat, sementara sebagian kecil sahabat saja yang membuat catatan hadis untuk kepentingan sendiri.
1.      Adapun sikap Nabi SAW terhadap hadis yang dicatat para sahabat ada 2 sikap:
2.      Menyuruh menghapusnya karena khawatir akan bercampur dengan Al-Quran suruhan menuliskanya karena untuk kkepentingan da'wah bagi mererka yang jauh dari kota Madinah.
 Berdasarkan penelitian para ahli hadis ada ditemukan 8 (delapan) riwayat yang membolehkan dan mengizinkan untuk menulis hadis dan 3 (tiga) riwayat yang melarang penulisan hadis. Riwayat-riwayat itu pada hakikatnya tidak bertentangan, melainkan dapat dikompromikan seperti tergambar pada dua sikap Nabi SAW diatas.
Dimikanlah keadaan hadis belum dibukukan secara resmi sampai wafat Rasulullah SAW pada tahun 11 H.

Hadis Pada Periode Sahabat dan Tabi'in
1. Periode Sahabat
Setelah Nabi SAW wafat (11 H/l632 M), kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Shabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu BakarAl-Siddiq (13 H/ 634M), kemudian disusul oleh Umar bin Al-Khatab (23 H l 644 M), Usman bin Affan (35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (401-If 661 M). Keempat khalifah ini dikenal dengan "AI-khulafa Ar-Rasyidin", dan periodenya disebut dengan zaman "Sahabat Besar".
Abu Bakar al-Shiddig, la merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatianya dalam periwayatan hadis. Periwayatan hadis pada masa Khalifah Abu Bakar dapat dikatakan beium merupakan kegiatan yang menonjot dikalangan umat Islam. Demikian juga yang dilakukan oleh sahabat lainya, dan mereka sangat hati-hati sekaFi dalam periwayatan Hadis Nabi, apalagi ada ancaman Nabi SAW:
"Barang siapa berdusta terhadap diriku (berbuat sesuatu kedustaan padahal aku tidak mengatakanya) hendaklah dia bersedia menempati kediamanya di dalarn neraka".
Umar bin AI- Khatab, ta dikenal sanyat hati-hati dalam pcriwayatan hadis. Umar baru bersedia menerima riwayat hadits setelah ada kesaksian dari sahabat lain. Bila tidak ada saksi maka tlmar tidak menerimanya. Disamping kewaspadaan dan kehati-hatian dalam periwayatan hadis agar tidak terjadi kekeliruan dan kepalsuan. Dalam pada itu, Umar pernah merencanakan penghimpunan hadis Nabi secara tertulis, seflah melakukan shalat Istikharah, Umar mengurungkan niatnya itu, karena khawatir akan memalingkaa perhatian umat Islam dari Al-Quran.
Hal itu bukanlah berarti Umar melarang periwayatan hadis, tetapi haruslah dengan hati-hati dari kekeliruan dan kebohongan. Periwayatan hadis Nabi pada masa Umar telah banyak dilakukan umat Islam bila dibandingkari dtngan masa Abu Bakar,namun tetap dalam kehati-hatian. Caranya tetap melalui hafalan, dan sedikit melalui catatan yang tidak resmi.
Usman bin Affan secara umum kebijakan Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah sebelumnya, hanya saja langkah Usman tidaklah setegas langkah Umar bin Khatab. Pada zaman Usman kegiatan uman Islam dalarn pcriwayatan hadis semakin luas, karena Usman tidak sekeras Umar, juga karena wilayah Islam semakin luas, yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat, dan keadaan hadis pada masa Usman ini juga belum dibukukan secara resmi, melainkan tetap melalui hafalan dan catatan-catatan pribadi.
Ali bin Abi Thalib, la tidak jauh berbeda sikapnya dengan para pendahulunya dalarn periwayatan hadis. Secara umum, Ali barulah hersedia menerima riwayat hadis Nabi setelah periwayatn hadis yang barsangkutan mengucapkan sumpah, kecuali pada periwayat yang telah diyakini kebenaranya, maka Ali tidak minta sumpah lagi. Dalam pada itu Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis, selain dalam bentuk lisan (hafalan) juga dalam bentuk tulisan. Situasi umat Islam pada zaman Ali tclah berbeda dengan situasi zarnan sebelumnya, karena pertentangan politik diantara sesama umat Islam.
Adapun sahabat Nabi selain Khulafah ar-Rasyidin, juga menunjukan kehati-hatian dalam periwayatan hadis, seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Umar bin Khatab, dan lain-lain. Dalam pada itu diakui bahwa kegiatan periwayatan hadis pada masa sahabat sesudah periode Khulafah ar-Rasyidin, telah lebih banyak dan luas dibandingkan zaman khalitah yang empat itu.

Periode Tabi'in
Periwayatan hadis pada periode Tabi'in tampak semakin semarak, namun tetap dalam kehati-hatian. Mereka mulai menyelidiki sanad dan matan hadis agar terhindar dari kepalsuan, bahkan tidak segan-segan melakukan perjalanan jauh untuk mengecek dan menylidiki kebenaranya, seperti peristiwa berikut:
a.       Said bin Al-Musayyab (94 N/ 712 M) seorang tabi'iy besar di kota Madinah, mengaku telah mengadakan perjalanan siang-malam untuk mendapaikan hanya sebuah fimlis Nabi SAW.
b.      Abu Amru Abdurrahman bin Amr Al-Auza'iy (157 H) 1774 M) menyatakan, apabila dia dan ulama sejawatnya menerima riwayat hadis, maka hadis itu diteliti bersanui. Apabila ulama menyimpulkan bahea riwayat itu memang hadis Nabi, maka Auza'iy mengambilnya dan apabila mereka mengingkarinya, maka dia meninggalkanya.
Bukti-bukli diatas menunjukan kesungguhan, kehati-hatian, dan kekuasan pengetahuan ulama tabi'in. Bagian hadis yang mereka kaji dam dalami buk:m hanya matanya saja melainkan juga nama-nama periwayat dan sanadnya.
Periwayatan hadis pada zaman tabi'in ini tidak mempuoleh hadis tansung dari Nabi. Mereka menerima riwayat dari sahabat yang bertemu dengan mercka, atau dari sesama periwayatan hadis pada zaman tabi'in ini tidak memp:,roleh hadis lansung dari Nabi. Mereka menerima riwayat dari sahabat yang bertemu dengan mereka, atau dari sesama tabi'in yang sezatnan dengan mereka, atau dari tabi'it-tabi'in yang banyak ilmunya.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa periwayatan hadis pada zaman tabi'in telah semakin meluas. Rangkaian para periwayat hadis yang beredar dimasyarakat menjadi lebih panjang dibandingkan dengan periode sahabat.
Pada masa tabi'in inilah mulai usaha pembukuan hadis yang dilakukan secara resmi atas perintah dan permintaan Khalifah Umar bin Ahdul Azis, memerintaili (99-101H/718M), dan berlanjut terus pada periode-periode berikutnya.

B.                 Kodifikasi Hadis
Penulisan resmi hadis dalam kitab-kitab hadis seperti dijumpai sekarang baru dimulai pada masa Bani Umayyah, yaitu pada zaman Umar bin Abd Aziz. Penulisan secara resmi (kodifikasi) atau disebut juga tadwin, dimulai setelah adanya perintah dari Khalifah Umar bin Abd Aziz kepada para pakar hadis untuk menuliskannya. Dengan demikian, penulisan hadis yang dilakukan oleh perorangan sebelum adanya perintah Umar tidak dikategorikan kepada lingkup pengertian kodifikasi. Namun untuk melihat sejarah perkembangan hadis dari waktu ke waktu akan dipaparkan mulai zaman Nabi sampai tadwin. Hal ini dianggap perlu sebagai upaya untuk melihat perjalanan hadis secara periodik.
Para ulama hadis tidak sependapat dalam menentukan jumlah periodisasi hadis. Ada yang membaginya menjadi tiga periode, lima periode, bahkan tujuh periode. Berikut ini adalah periodisasi hadis secara garis besar. Periode pertama adalah periode Nabi dan disebut masa wahyu dan pembentukan (‘ashr al-wahy wa al-taqwin). Pada periode ini Nabi melarang para sahabat menulis hadis, karena disamping adanya rasa takut bercampur antara hadis dan al-Qur’an, juga agar potensi umat Islam lebih tercurah kepada al-Qur’an. Namun walaupun ada larangan, sebagian sahabat ada juga yang berinisiatif menuliskannya untuk berbagai alasan.
Pada masa ini para sahabat menerima hadis dari Nabi melalui dua cara yaitu langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung di antaranya melalui ceramah atau khutbah, pengajian atau penjelasan terhadap pertanyaan yang disampaikan kepada Nabi. Adapun yang tidak langsung di antaranya mendengar dari sahabat yang lain atau mendengar dari utusan-utusan, baik utusan dari Nabi ke daerah-daerah atau utusan dari daerah yang datang kepada Nabi.
Ciri utama periode ini ialah aktifnya para sahabat dalam menerima hadis dan menyalinnya secara sendiri-sendiri. Di samping itu sahabat menerima hadis dan menyampaikannya kepada yang lain melalui kekuatan hapalan. Para sahabat yang banyak menerima hadis ialah khulaf rasyidin, Abd Allah bin Mas’ud, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Siti Aisyah, dan Ummu Salamah.
Periode kedua adalah zaman kuhulafa rasyidin. Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadis dan penyedikitan riwayat (zaman al-tastabut wa al-iklal min al-riwayah), usaha-usaha para sahabat dalam membatasi hadis dilatarbelakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Kekhawatiran muncul karena suhu politik umat Islam secara internal sudah mulai labil, terutama dalam suksesi kepemimpinan yang selalu menimbulkan perpecahan bahkan fitnah.
Oleh karenanya para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Mereka melakukan periwayatan hadis dengan dua cara: lafzdi dan ma’nawi. Periwatan adalah redaksi hadis  yang diriwayatkan betul-betul sama dengan yang disabdakan oleh Nabi. Adapun periwatan dengan ma’nawi ialah redaksi hadis yang diriwayatkan berbeda dengan yang disabdakan Nabi, tapi substansinya sama.
Periode ketiga adalah penyebaran hadis ke berbagai wilayah (zaman intisyar al-riwayat ila al-amshar) yang berlangsung papa masa sahabat kecil dan tabi’in besar. Pada masa ini wilayah Islam sudah sampai ke Syam (Suriah), Irak, Mesir, Persia, Samarkhand, Spanyol. Bertambah luasnya wilayah berdampak kepada menyebarnya hadis ke wilayah-wilayah tersebut yang dibawa oleh para pemimpin atau menjadi guru pengajar di sana. Di antara tokoh-tokoh hadis pada masa ini ialah Sa’id dan Urwah di Madinah, Ikrimah dan Atha bin Abi Rabi’ah di Mekkah, Ibrahim al-Nakha’i di Kufah, Muhammad bin Sirin di Bashrah dan Wahab bin Munabih di Yaman.
Periode keempat adalah periode penulisan dan pembukuan hadis secara resmi (‘ahsr al-kitabat wa al-tadwin). Penulisan dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd. Aziz (717-720M) sampai akhir abad ke-8 M. Ia adalah khalifah Bani Umayyah kedelapan yang menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, Gubernur Madinah untuk menulis hadis. Bunyi instruksi itu lengkapnya adalah seperti dikutip oleh Muhammad Ajaj al-Khatib:
“Perhatikanlah atau periksalah hadis-hadis Rasulullah saw, kemudian tulislah! Aku khawatir lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama dan janganlah engkau terima kecuali hadis Rasulullah saw.”
Latarbelakang Umar bin Abd. Aziz menginstruksikan untuk mengkodifikasi hadis adalah bercampurbaurnya hadis sahih dengan hadis palsu, di samping rasa takut dan khawatir lenyapnya hadis-hadis dengan meninggalnya para ulama dalam perang. Pentadwinan berlangsung sampai masa Bani Abbas sehingga melahirkan para ulama hadis, seperti Ibnu Juraij (w.179 H) di Mekkah, Abi Ishaq (w.151 H) dan Imam Malik (w.179 H) di Madinah, al-Rabi Ibin Sabih (w.160 H) dan Abd. Al-Rahman al-Auzi (w.156 H) di Suriah.
Di samping lahirnya para ulama hadis, dihasilkan pula sejumlah kitab-kitab karya para ulama, baik berupa ijma’i, al-Musnaf, maupun al-Musnad. Misalnya, al-Musnad karya Imam Syafi’i, al-Musnaf karya al-Auzi, dan al-Muawaththa’ karya Imam Malik yang disusun atas perintah khalifah Abu Ja’far al-Mansur. Kitab-kitab hadis terbitan periode ini belum terseleksi betul sehingga isinya masih bercampur antara hadis Nabi dan fatwa sahabat, bahkan fatwa tabi’in, atau hadis marfu’, mauquf, dan maqthu’ di samping juga hadis palsu.
Periode kelima adalah periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan (ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-5 Hijriyah. Atau tepatnya, saat Dinasti Abbasiyah dipegang oleh khalifah al-Makmun sampai al-Mu’tadir.  Pada masa ini para ulama mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan pengklasifikasian hadis-hadis, yaitu dengan cara memisahkan hadis marfu’ dari hadis maqthu’. Hasil dari gerakan ini adalah lahirnya kitab-kitab hadis yang sudah terseleksi, seperti kitab Sahih, Kitab Sunan, dan Kitab Musnad.
Kitab Sahih adalah kitab atau buku hadis yang hanya memuat hadis-hadis sahih dan hadis-hadis yang tidak terlalu lemah (dha’if). Adapun kitab Musnad adalah kitab hadis yang mengoleksi segala macam hadis tanpa memperhatikan kualitasnya (sahih dan tidaknya), di samping juga tidak menerangkan derajat hadis.
Pada periode ini tersusun enam kitab hadis terkenal yang bisa disebut Kutub al-Sitah, yaitu:
1.      Al-Jami’ al-Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H)
2.      Al-Jami’ al-Shahih karya Imam Muslim (204-262 H)
3.      Al-Sunan Abu Dawud Karya Abu Dawud (202-275 H)
4.      Al-Sunan Karya al-Tirmidzi (200-279 H)
5.      Al-Sunan Karya al-Nasa’i (215-302 H)
6.      Al-Sunan Karya Ibnu Majah (207-273 H)
Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan (ashr al-tahzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u). Periode ini berlangsung sekitar dua setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiyah ke tangan Khulagu Khan tahun 656 H/1258 M.
Gerakan ulama hadis pada periode keenam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gerakan ulama periode kelima. Hasil dari gerakan mereka adalah lahirnya sejumlah kitab hadis yang berbeda seperti Kitab Syarah, Kitab Mustakhrij, Kitab athraf, Kitab Mustadrak, dan Kitab Jami’.
Kitab Syarah ialah kitab hadis yang memperjelas dan mengomentari hadis-hadis tertentu yang sudah tersusun dalam beberapa kitab hadis sebelumnya. Kitab mustakhrij ialah kitan hadis yang metode pengumpulan hadisnya dengan cara mengambil hadis dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadis tersebut. Kitab athraf ialah kitab hadis yang hanya memuat sebagian matas hadis, tetapi sanadnya ditulis lengkap. Kitab Mustadrik ialah kitab yang memuat hadis-hadis yang memenuhi syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau syarat-syarat salah satu dari keduanya. Kitab Jami’ ialah kitab yang memuat hadis-hadis yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
Periode ketujuh adalah periode pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan (‘ahl al-syarh wa al-jam’u wa al-takhrij wa al-hadits). Periode ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya terutama dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan hadis-hadis. Ulama para periode ini mulai mensistemasi hadis-hadis menurut kehendak penyusun, memperbaharui kitab-kitab mustakhrij dengan cara membagi bagi hadis menurut kualitasnya. Mereka cenderung menyusun hadis sesuai dengan topik pembicaraan.


BAB III
PENUTUP
A.               Kesimpulan
Adapun cara periwayatan hadits pada rnasa sahabat terbagi menjadi dua yaitu: Periwayatan Lafdzi (Redaksi sama persis dengan Rasulullah) dan Periwayatan Maknawi (Redaksi tidak sama persis akan tetapi makna & intinya sama). Pada masa sahabat belum ada penulisan hadits secara resmi sebab dikhawatirkan bercampur dengan Al-Qur'an dan umat islam lebih difokuskan untuk mempelajari Al-Qur'an.
Begitu juga pada masa Tabi'in, yang mengikuti jejak para sahabat, periwayatan haditsnya pun tidak jauh berbeda. Hanya saja pada masa ini Al-Qur'an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Pada masa tabi'in timbul usaha yang lebih sungguh-sungguh untuk mqncari dan meriwayatkan hadits. Apalagi sejak semakin maraknya hadits-hadits palsu yang muncul dari beberapa golongan untuk kepentingan politik.

B.               Saran
Syukur Alhamdulillah kami ucapkan kehadiran Illahi Robbi yang telah memberikan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, walaupun masih dalam keadaan yang sangat sederhana dan masih banyak kekurangan dan juga kesalahan dalam penulisanya namun demikian kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan pada kami khususnya. Amiin.





DAFTAR PUSTAKA

Dr.Nawir Yuslim, MA: 2003. Ulumul Hadis, PT Mutiara Sumberwidya.

Sabtu, 23 Februari 2013

pendidikan akhlak



PENDIDIKAN AKIDAH
A.   PENDIDIKAN
A.1. Defenisi Pendidikan
Pendidikan adalah kata didik yang mendapat imbuhan ‘pe’ dan ‘an’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,  didik memiliki arti memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan. Sedangkan definisi pendidikan sendiri adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Jadi dalam hal ini definisi pendidikan adalah proses atau perbuatan mendidik.
Definisi Pendidikan Menurut Para Ahli Definisi pendidikan juga dapat kita lihat pada berbagai literatur dan gagasan yang disampaikan oleh banyak ahli. Misalnya Ki Hajar Dewantara (1889 – 1959)  Menurut Bapak Pendidikan Nasional Indonesia ini  “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti ( karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”.
Definisi pendidikan menurut John Dewey yang lainnya adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.
Salah seorang tokoh bangsa Arab yang hidup tahun 106 H- 143 H yang bernama Ibnu Muqaffa, mengatakan bahwa : “Pendidikan itu ialah yang kita butuhkan untuk mendapatkan sesuatu yang akan menguatkan semua indera kita seperti makanan dan minuman, dengan yang lebih kita butuhkan untuk mencapai peradaban yang tinggi yang merupakan santaan akal dan rohani.” Ibnu Muqaffa yang menyampaikan definisi pendidikan tersebut adalah pengarang Kitab Kalilah dan Daminah.
Sedangkan Thompson mengungkapkan bahwa definisi pendidikan adalah pengaruh lingkungan terhadap individu untuk menghasilkan perubahan - perubahan yang tetap dalam kebiasaan perilaku, pikiran dan sifatnya. Definisi pendidikan merupakan usaha,  pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak agar tertuju kepada kedewasaannya, atau lebih tepatnya membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. definisi pendidikan tersebut ditegaskan oleh M.J. Longeveled.

Dari berbagai definisi pendidikan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain. Semoga informasi mengenai definisi pendidikan diatas dapat berguna bagi kita semua.

A.2. Ruang Lingkup Pendidikan
Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalammya pasti terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Karena itulah sering dinyatakan pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia. Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya.
Untuk memperjelas pengertiannya, berikut ini dikutip beberapa defenisi atau istilah pendidikan: Menurut Carter V.good dalam "Dictionary Of Education" dijelaskan sebagai berikut :
a.             Pedagogy (1) seni, praktek, atau profesi sebagai pengajar (pengajaran) (2) ilmu yang sistematis atau pengajaran yang berhubungan dengan prinsip-prinsip dan metode-metode mengajar, pengawasan dan bimbingan, murid, dalam arti luas digantikan dengan istilah pendidikan.
b.            Juga menurut Carter, Education berarti: Proses perkembangan pribadi, Proses sosial, Professional cources, Seni untuk membuat dan memahami ilmu pengetahuan yang tersusun yang di warisi/dikembangkan masa lampau oleh tiap generasi bangsa.

Menurut buku "Higher Educatoin for American Democracy" menyatakan bahwa Pendidikan ialah suatu lembaga dalam tiap-tiap masyarakat yang beradab, tetapi tujuan pendidikan tidaklah sama dalam setiap masyarakat. Sistem pendidikan suatu masyarakat (bangsa) dan tujuan-tujuan pendidikannya didasarkan atas prinsip-prinsip (nilai-nilai), cita-cita dan filsafat yang berlaku dalam suatu masyarakat (bangsa).
Menurut prof. Richey, dalam buku "Planning for Teaching, an Intruction to Education" dinyatakan Istilah "Pendidikan" berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat terutama membawa warga masyarakat yang baru (generasi muda) bagi penunaian kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat. Jadi pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas daripada proses yang berlangsung di dalam sekolah saja. Pendidikan adalah suatu aktivitas sosial yang esensial yang memungkinkan masyarakat yang kompleks, modern, fungsi pendidikan ini mengalami proses spesialisasi dan lembaga dengan pendidikan formal, yang tetap berhubungan dengan proses pendidikan in-formal di luar sekolah.
Menurut prof. Lodge dalam buku "Philosophy of Education" dinyatakan sebagai berikut: Perkataan "Pendidikan" dipakai kadang-kadang dalam pengertian yang lebih luas, kadang-kadang dalam arti yang lebih sempit. Dalam pengertian yang lebih luas, semua pengalaman dapat dikatakan sebagai pendidikan. Seorang anak mendidik orang tuanya, seperti pula halnya seorang murid mendidik gurunya, bahkan seekor anjing mendidik tuannya. Segala sesuatu yang kita katakana, pikiran atau kerjakan mendidik kita, baik dari benda-benda hidup maupun benda-benda mati. Dalam pengertian yang lebih luas ini, hidup adalah pendidikan dan pendidikan adalah hidup. Selanjutnya dalam pengertian yang lebih sempit, "Pendidikan" dibatasi pada fungsi tertentu dalam masyarakat yang terdiri atas penyerahan adat istiadat (tradisi) dengan latar belakang sosialnya, pandangan hidup masyarakat itu kepada warga masyarakat generasi berikutnya dan demikian seterusnya. Dalam pengertian yang lebih sempit ini, pendidikan berarti, bahwa prakteknya identik dengan "Sekolah" yaitu pengajaran formal dalam kondisi yang di atur.
Menurut Brubacher dalam bukunya "Modern Philosophies of Education" dinyatakan sebagai berikut: Pendidikan diartikan sebagai proses timbal balik dari tiap pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya dengan alam, dengan teman, dan alam semesta. Pendidikan merupakan pula perkembangan yang terorganisi dan kelengkapan dari semua potensi manusia, moral, intelektual dan jasmani (pancaindera), oleh dan untuk kepribadian individunya dan kegunaan masyarakatnya.
Adapun kesimpulan dari beberapa uraian tentang pengertian pendidikan di atas dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.            Pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cipta, dan budi nurani) dan jasmani (pancaindera serta keterampilan-keterampilan).
2.            Pendidikan berarti juga lembaga yang bertanggung jawab menetapkan cita-cita (tujuan) pendidikan, isi, sistem dan organisasi pendidikan. Lembaga-lembaga ini meliputi: keluarga, sekolah, dan masyarakat (Negara).
3.            Pendidikan merupakan pula hasil atau prestasi yang dicapai oleh perkembangan manusia dan usaha lembaga-lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya. Pendidikan dalam arti ini merupakan tingkat kemajuan masyarakat dan kebudayaan sebagai satu kesatuan.

A.3. Tujuan Pendidikan
Di dalam UU Nomor 2 tahun 1989 secara jelas disebutkan Tujuan Pendidikan Nasional, yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantab dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”
Sesungguhnya tujuan bagi pendidikan adalah:
a. Sebagai Arah Pendidikan, tujuan akan menunjukkan arah dari suatu usaha, sedangkan arah menunjukkan jalan yang harus ditempuh dari situasi sekarang kepada situasi berikutnya.
b. Tujuan sebagai titik akhir, suatu usaha pasti memiliki awal dan akhir. Mungkin saja ada usaha yang terhenti karena sesuatu kegagalan mencapai tujuan, namun usaha itu belum bisa dikatakan berakhir. Pada umumnya, suatu usaha dikatakan berakhir jika tujuan akhirnya telah tercapai.
c. Tujuan sebagai titik pangkal mencapai tujuan lain, apabila tujuan merupakan titik akhir dari usaha, maka dasar ini merupakan titik tolaknya, dalam arti bahwa dasar tersebut merupakan fundamen yang menjadi alas permulaan setiap usaha.
d. Memberi nilai pada usaha yang dilakukan.

A.4. Manfaat Pendidikan
Pada dasarnya sebuah arti dalam dunia pendidikan sangatlah berarti bagi penerus bangsa khusunya di negara indonesia ini. pendidikan sangatlah berfungsi serta berperan besar khususnya didalam sebuah ruang lingkup dunia sekolah, ataupun perguruan tinggi lainnya. sebuah pendidikan yang dterapkan dalam ruang lingkup sekolah tersebut menjadi tolak ukur berlangsungnya perkembangan pendidikan yang diajarkan tenaga pendidik khususnya dalam sebuah sekolah tersebut.  contoh kecilnya siswa merasa terpanggil dan turun untuk ikut serta dalam mempelajari sebuah arti dalam pendidikan tersebut.
Dalam halnya keseharian siswa tersebut di tuntut agar diterapkan nya ilmu pendidikan dari para guru yang mengajarnya, selain itu juga perlu kita ketahui bersama bahwa kita pun mesti mengetahui apa itu dari sebuah fungsi pendidikan , fungsi pendidikan ini sangatlah penting untuk mengetahui apa manfaat yang memanjang dari dunia pendidikan itu sendiri dalam artian disini adalah mengalokasikan sumber daya yang tidak hanya antara berbagai jenis dan tingkat sekolah tetapi juga antara pendidikan dan program sosial.
Seperti contoh hal kecilnya dari sebuah program sosial yaitu "organisasi, ekstrakulikuler, UKM dalam dunia kampus, dll" dan masih banyak lagi yang lainnya.  manfaat dari pendidikan juga harus dihargai oleh semua orang karena untuk memutuskan bagaimana untuk membiayai pendidikan pada tingkat yang berbeda. Jika manfaat yang meluas ke komunitas sekolah, ada alasan untuk mempromosikan dana sendiri untuk proses pendidikan, bahkan bias dari pinjaman. Pendidikan manfaat juga harus diidentifikasi untuk menafsirkan motivasi pendidik. Dalam pengetahuan dasar yang dibutuhkan sebagai manfaat pendidikan sehingga proses pendidikan dapat dievaluasi melalui analisis manfaat biaya yang berkaitan dengan alokasi dana dan menentukan manajemen.
Pendidikan juga bermanfaat untuk dikalangan sebuah komunitas-komunitas, forum-forum, karena sebuah pendidikan tidak hanya diterapkan dalam dunia sekolah maupun perguruan tinggi juga. dalam artian pendidikan itu mengarah kepada hal yang lebih positif. maka dari itu pemerintah menunjang agar berlangsungnya sebuah pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah agar menjadi lebih baik lagi, sehingga kulaitas pendidikan kita di mata luar terlihat sangat baik. dengan adanya pendidikan pula seseorang yang asalnya tidak bisa menjadi bisa itu semua karena proses dari sebuah pendidikan juga.
Maka dari itu setiap individu tidak bisa berharap lebih untuk mendapatkan semua manfaat yang telah maju pada saat ini. Kebanyakan manfaat  pendidikan ini  menjadi jauh lebih lemah ketika satu tingkat pendidikan menjadi kurang eksklusif juga. dan harus memiliki dampak negatif dari pendidikan sekolah.jadi inti dari semuanya bagi penerus bangsa generasi muda kedepan manfaatkan lah sebuah pendidikan yang anda jalani karena masa muda anda tidak akan terulang kembali. hanya satu kali muda dalam hidup ini.

B.   AKHLAK
B.1. Defenisi Akhlak
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.
Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat. Kata akhlak diartikan sebagai suatu tingkah laku, tetapi tingkah laku tersebut harus dilakukan secara berulang-ulang tidak cukup hanya sekali melakukan perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja. Seseorang dapat dikatakan berakhlak jika timbul dengan sendirinya didorong oleh motivasi dari dalam diri dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan pemikiran apalagi pertimbangan yang sering diulang-ulang, sehingga terkesan sebagai keterpaksaan untuk berbuat. Apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan terpaksa bukanlah pencerminan dari akhlak.
Dalam Encyclopedia Brittanica, akhlak disebut sebagai ilmu akhlak yang mempunyai arti sebagai studi yang sistematik tentang tabiat dari pengertian nilai baik, buruk, seharusnya benar, salah dan sebaginya tentang prinsip umum dan dapat diterapkan terhadap sesuatu, selanjutnya dapat disebut juga sebagai filsafat moral.
Tiga pakar di bidang akhlak yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu.
Akhlak ialah seperangkat tata nilai yang bersifat samawi dan azali, yang mewarnai cara berfikir, bersikap dan bertindak seorang muslim terhadap alam lingkungannya.
Menurut Al-Ghazali,  Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran lebih dahulu.
Akhlak umumnya disama artikan dengan arti kata budi pekerti, kesusilaan atau sopan santun dalam bahasa Indonesia, atau tidak berbeda pula dengan arti kata ethic (etika).

B.2. Ruang Lingkup Akhlak
1.      Akhlak pribadi
Yang paling dekat dengan seseorang itu adalah dirinya sendiri, maka hendaknya seseorang itu menginsyafi dan menyadari dirinya sendiri, karena hanya dengan insyaf dan sadar kepada diri sendirilah, pangkal kesempurnaan akhlak yang utama, budi yang tinggi. Manusia terdiri dari jasmani dan rohani, disamping itu manusia telah mempunyai fitrah sendiri, dengan semuanya itu manusia mempunyai kelebihan dan dimanapun saja manusia mempunyai perbuatan.
2.      Akhlak berkeluarga
Akhlak ini meliputi kewajiban orang tua, anak, dan karib kerabat. Kewajiban orang tua terhadap anak, dalam islam mengarahkan para orang tua dan pendidik untuk memperhatikan anak-anak secara sempurna, dengan ajaran –ajaran yang bijak, setiap agama telah memerintahkan kepada setiap oarang yang mempunyai tanggung jawab untuk mengarahkan dan mendidik, terutama bapak-bapak dan ibu-ibu untuk memiliki akhlak yang luhur, sikap lemah lembut dan perlakuan kasih sayang. Sehingga anak akan tumbuh secara sabar, terdidik untuk berani berdiri sendiri, kemudian merasa bahwa mereka mempunyai harga diri, kehormatan dan kemuliaan.
Seorang anak haruslah mencintai kedua orang tuanya karena mereka lebih berhak dari segala manusia lainya untuk engkau cintai, taati dan hormati. Karena keduanya memelihara,mengasuh, dan mendidik, menyekolahkan engkau, mencintai dengan ikhlas agar engkau menjadi seseorang yang baik, berguna dalam masyarakat, berbahagia dunia dan akhirat. Dan coba ketahuilah bahwa saudaramu laki-laki dan permpuan adalah putera ayah dan ibumu yang juga cinta kepada engkau, menolong ayah dan ibumu dalam mendidikmu, mereka gembira bilamana engkau gembira dan membelamu bilamana perlu. Pamanmu, bibimu dan anak-anaknya mereka sayang kepadamu dan ingin agar engkau selamat dan berbahagia, karena mereka mencintai ayah dan ibumu dan menolong keduanya disetiap keperluan.
3.      Akhlak bermasyarakat
Tetanggamu ikut bersyukur jika orang tuamu bergembira dan ikut susah jika orang tuamu susah, mereka menolong, dan bersam-sama mencari kemanfaatan dan menolak kemudhorotan, orang tuamu cinta dan hormat pada mereka maka wajib atasmu mengikuti ayah dan ibumu, yaitu cinta dan hormat pada tetangga.
Pendidikan kesusilaan/akhlak tidak dapat terlepas dari pendidikan sosial kemasyarakatan, kesusilaan/moral timbul di dalam masyarakat. Kesusilaan/moral selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. Sejak dahulu manusia tidak dapat hidup sendiri–sendiri dan terpisah satu sama lain, tetapi berkelompok-kelompok, bantu-membantu, saling membutuhkan dan saling mepengaruhi, ini merupakan apa yang disebut masyarakat. Kehidupan dan perkembangan masyarakat dapat lancar dan tertib jika tiap-tiap individu sebagai anggota masyarakat bertindak menuruti aturan-aturan yang sesuai dengan norma- norma kesusilaan yang berlaku.
4.      Akhlak bernegara
Mereka yang sebangsa denganmu adalah warga masyarakat yang berbahasa yang sama denganmu, tidak segan berkorban untuk kemuliaan tanah airmu, engkau hidup bersama mereka dengan nasib dan penanggungan yang sama. Dan ketahuilah bahwa engkau adalah salah seorang dari mereka dan engkau timbul tenggelam bersama mereka.
5.      Akhlak beragama
Akhlak ini merupakan akhlak atau kewajiban manusia terhadap tuhannya, karena itulah ruang lingkup akhlak sangat luas mencakup seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal dengan Tuhan, maupun secara horizontal dengan sesama makhluk Tuhan.

B.3. Tujuan Akhlak
1.      Akhlak mencorak tingkah laku
Akhlak memainkan peranan yang penting dalam mencorakkan tingkah laku dan kehidupan seseorang. Setiap tingkah laku yang lahir daripada manusia sebenarnya adalah cernaan daripada apa yang tersemat di dalam dirinya. Sebagaimana menurut Al-Ghazali : "Setiap yang ada di dalam hati akan menzahirkan kesannya pada anggota badan sehinggalah setiap pergerakkannya adalah berlandaskan kepadanya".
Maka dengan ini sehinggalah apabila akhlak menjadi sehati di dalam diri ia akan melahirkan tindakan spontan, bergantung kepada nilai akhlak yang ada padanya.
2.      Neraca akhlak mempengaruhi pertimbangan
Neraca akhlak yang sebati di dalam diri manusia akan mempengaruhi pertimbangannya dalam menilai sesuatu perbuatan. Oleh itu, kesahihan dalam pertimbangan ini bergantung kepada sejauh mana kesahihan neraca yang dipegangnya.
3.      Akhlak mencerminkan keimanan
Akhlak adalah cermin keimanan seseorang. Dengan erti kata lain, iman yang sempurna akan memprodukkan akhlak yang mulia atau dengan perumpamaan yang  mudah, ibarat pohon yang semata-mata bergantung kepada keelokan akarnya. Sabda Rasulullah S.A.W  :
            "Di kalangan mu'minin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya.
4.      Akhlak sebagai simbol tamadun manusia
Tamadun sesuatu umat adalah terletak kepada sejauh mana penghayatannya dan kemurnian sumber peradabannya. Akhlak adalah sebagai mercu tanda, berjaya atau tidaknya sesuatu umat dalam melakukan proses kemajuan dan pembangunan. Tanpa akhlak nescaya manusia akan berada di lembah kehinaan biarpun kejayaan material yang dicapai sangat menakjubkan.
Faktor membelakangkan akhlak jugalah yang menyebabkan sesuatu umat tersebut tidak mencapai ketamadunan yang sebenarnya. Contohnya kepercayaan Hindu yang membelakangkan etika akhlak mengakibatkan umatnya tiada bertamadun seperti berlakunya perhambaan diri kepada hawa nafsu. Begitu juga tamadun barat yang berasaskan oleh ideologi kapitalis dan lain-lain, jatuh satu persatu kerana mengkesampingkan nilai-nilai akhlak.
5.      Akhlak adalah mungkin perubahan
            Aspek keluhuran akhlak dan kerohanian perlulah diambil berat serta diberi pemfokusan yang utama dalam melakukan setiap agenda perubahan kepada masyarakat. Ini adalah kerana sebagai mangkin perubahan, sebagaimana yang telah diulas oleh Imam As Syahid Hassan Al-Banna sebagai "tongkat perubahan". Ini kerana krisis yang dihadapi oleh dunia adalah merupakan krisis kejiwaan dan kerohanian sebelum ianya menjadi krisis ekonomi  dan politik.
Begitulah pentingnya akhlak dalam  membantu proses perubahan walaupun di saat- saat kritikal seperti dalam medan peperangan. Sejarah Islam telah membuktikan bahawa keruntuhan akhlak dan moral akan menggagalkan usaha perubahan. Seolah-olah akhlaklah yang menjadi sebagai persiapan dan persediaan dalam menempuh situasi genting perubahan ini. Kita melihat apa yang telah berlaku di Turki ketika kejatuhan Khalifah  Uthmaniah, di antara faktor kelembapannya dan kejatuhannya adalah disebabkan keruntuhan nilai akhlak di kalangan pemerintah dan tentera-tenteranya.
Secara kesimpulannya, dapatlah kita nyatakan bahawa akhlaklah merupakan sumber kekuatan yang dapat mengangkat darjat manusia ke tahap yang mulia. Ini kerana seseorang insan itu bukan dilihat berdasarkan tubuh badan atau anggota tetapi ianya dilihat dari segi perlakuan akhlaknya.


B.4. Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak
o   Membersihkan kalbu dari kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci.
o   Memiliki pengetahuan tentang kriteria perbuatan baik dan buruk.
o   Membersihkan diri manusia dari perbuatan dosa dan maksiat.
o   Menetapkan perbuatan sebagai perbuatan baik dan buruk.
 Akhlak tidak dapat dipisahkan oleh kehidupan sehari-hari karena akhlak berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari. Misalkan saja dalam pergaulan, tanpa akhlak pergaulan akan kacau, karean saling tidak menghargai dan saling meremehkan.
 Kemudian akhlak juga berkaitan erat dalam makanan sehari-hari karena tanpa akhlak bisa saja orang yang lapar dengan tanpa fikir panjang langsung mengambil makanan orang  tanpa mengetahui makanan itu telah diberikan atau tidak.
 Dan yang terakhir akhlak dalam berpakaian sehari-hari adalah kewajiban yang mutlak yang harus di laksanakan oleh setiap muslimah yang beriman. Selain dari pada itu, kalau kita bepergian, lantas kita menutup aurat, kita terlepas dari segala fitnah.

C.   AKHLAK TERPUJI DAN AKHLAK TERCELA
C.1. Akhlah Terpuji
a.      Husnuzan
Berasal dari lafal husnun ( baik ) dan Adhamu (Prasangka). Husnuzan berarti prasangka, perkiraan, dugaan baik. Lawan kata husnuzan adalah suuzan yakni berprasangka buruk terhadap seseorang. Hukum kepada Allah dan rasul nya wajib, wujud husnuzan kepada Allah dan Rasul-Nya antara lain: Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua perintah Allah dan Rasul-Nya Adalah untuk kebaikan manusia. Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua larangan agama pasti berakibat buruk. Hukum husnuzan kepada manusia mubah atau jaiz (boleh dilakukan). Husnuzan kepada sesama manusia berarti menaruh kepercayaan bahwa dia telah berbuat suatu kebaikan. Husnuzan berdampak positif berdampak positif baik bagi pelakunya sendiri maupun orang lain.
b.      Tawaduk
Tawaduk berarti rendah hati. Orang yang tawaduk berarti orang yang merendahkan diri dalam pergaulan. Lawan kata tawaduk adalah takabur. Allah berfirman , Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya, dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ”Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” (Q.S. Al Isra/17:24) Ayat di atas menjelaskan perintah tawaduk kepada kedua orang tua.
c.       Tasamu
Artinya sikap tenggang rasa, saling menghormati dan saling menghargai sesama manusia. Allah berfirman, ”Untukmu agamamu, dan untukku agamaku (Q.S. Alkafirun/109: 6). Ayat tersebut menjelaskan bahwa masing-masing pihak bebas melaksanakan ajaran agama yang diyakini.
d.      Ta’awun
Ta’awun berarti tolong menolong, gotong royong, bantu membantu dengan sesama manusia. Allah berfirman, ”…dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan…”(Q.S. Al Maidah/5:2)

C.2. Akhlak Tercela
a.      Hasad
Artinya iri hati, dengki. Iri berarti merasa kurang senang atau cemburu melihat orang lain beruntung. Allah berfirman, ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain.(Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang merekausahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya…” (Q.S. AnNisa/4:32)
b.      Dendam
Dendam yaitu keinginan keras yang terkandung dalam hati untuk membalas kejahatan. Allah berfirman, ”Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhlah itulah yang terbaik bagi orang yang sabar” (Q.S. An Nahl/16:126)
c.       Gibah dan Fitnah
Membicarakan kejelekan orang lain dengan tujuan untuk menjatuhkan nama baiknya. Apabila kejelekan yang dibicarakan tersebut memang dilakukan orangnya dinamakan gibah. Sedangkan apabila kejelekan yang dibicarakan itu tidak benar, berarti pembicaraan itu disebut fitnah. Allah berfirman, ”…dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik…” (Q.S. Al Hujurat/49:12)
d.      Namimah
Adu domba atau namimah, yakni menceritakan sikap atau perbuatan seseorang yang belum tentu benar kepada orang lain dengan maksud terjadi perselisihan antara keduanya. Allah berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (Q.S. Al Hujurat/49:6)


REFERENSI